Selasa, 15 Januari 2019

IMPLEMENTASI PANCASILA DIBIDANG POLITIK MENJELANG PEMILU 2019

“IMPLEMENTASI PANCASILA DIBIDANG POLITIK MENJELANG PEMILU 2019”

Moh. Yunus
PGMI STIT Al-Fattah

Implementasi dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapa. Artinya yang dilaksanakan dan diterapkan adalah kurikulum yang telah dirancang/desain untuk kemudian dijalankan sepenuhnya.
Sebagai dasar negara filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber dasar peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Nilai-nilai khusus pancasila dapat dijabarkan dalam sila-silanya, yaitu sebagai berikut:
1.    Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya memuat penguatan                      kekuasaan Tuhan sebagai sumber dan pencipta, sekaligus memperlihatkan keesaan hubungan antara yang mencipta dan yang dicipta.
2.    Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, asumsi dasar sila ini yaitu                     bahwa manusia karena kedudukannya yang khusus diantara ciptaan-cptaan lainnya mempunyai hak dan kewajiban untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai manusia.
3.    Sila ketiga, Persatuan Indonesia, sila ini dengan khuusus meminta perhatian                        setiap warga negara akan hak dan kewajiban serta tanggung jawanya pada suatu negara khususnya dalam menjaga eksistensi bangsa dan negara.
4.    Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan                               Dalam Permusyawaratan Perwakilan, memperlihatkan pengakuan negara serta perlindungannya terhadap kedaulatan rakyat yang dilaksanakan dalam iklim musyawarah dan mufakat.
5.    Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, secara istimewa                      menekankan keseimbangan antara hak dan kewajiban setiap warga negara harus bisa menikmati keadilan secara nyata, tetapi keadilan yang merata hanya bisa dicapai apabila struktur sosial masyarakat secara adil.
Dalam bidang politik, kita harus mewujudkan perilaku antara lain:
1.    Menerapkan perilaku politik sesuai dengan pancasila.
2.       Menghindari sikap dan perilaku yang memaksakan pendapat dan ingin menang sendiri.
3.       Penyelenggara negara dan warga negara mewujudkan nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, serta kerakyatan dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari.
4.       Menghindari sikap menghalang-halangi orang yang akan berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi.
5.       Meyakini bahwa nilai-nilai pancasila dan UUD 1945 sebagai nilai yang terbaik dan sesuai untuk bangsa Indonesia serta tidak melecehkannya.
6.       Menerapkan perilaku dan sikap politik pada saat pemiliham umum (PEMILU) dengan menggunakan dasar pancasila

Politik berasal dari kosa kata politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat bukan tujuan pribadi seseorang,. selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Politik juga memiliki arti sebagai proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara misalnya dalam pemilihan umum.
Politik juga dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda, yaitu:
1.    Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles).
2.    Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
3.    Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
4.    Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan     kebijakan publik.
Hubungan antara politik dengan etika politik secara luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.

Implementasi pancasila berdasarkan bidang politik yaitu aktif dalam kegiatan pemilihan pemimpin desa, kabupaten, maupun negara, tidak mengisukan lawan politik dengan berbagai fitnah, saling menghormati dengan pemimpin setiap orang.
Maka dari itu dalam melaksanakan pemilihan umum pada 2019 ini harus menganut dasar pancasila karena Pancasila harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak dapat diantitesiskan satu sama lain.


Kamis, 10 Januari 2019

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DALAM BERDEMOKRASI DAN HOAX ADALAH TANTANGAN TERBESARNYA

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DALAM BERDEMOKRASI
DAN HOAX ADALAH TANTANGAN TERBESARNYA

Oleh Af’idatus Shofiyah
Semester VII
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah


Di Era Millenial seperti saat ini, kita diberikan kemudahan untuk mengakses berbagai informasi melalui Internet di mana saja dan kapan saja. Bahkan, tidak hanya orang dewasa saja, melainkan dari semua kalangan sudah tidak asing lagi dengan dunia internet.  Semua orang merasakan kemudahan yang diberikan internet dalam segala macam situasi dan kondisi, dari mulai segala macam hal yang positif sampai dengan yang negatif. Semua dapat diakses dengan mudahnya oleh semua orang melalui internet. Salah satu kemudahan yang diberikan oleh internet adalah mempermudah jalinan komunikasi antar individu melalui media sosial.
Hal ini sesuai dengan pendapat Zarella dalam Aditya (2015: 51), bahwa media sosial adalah situs yang menjadi tempat orang-orang berkomunikasi dengan teman-teman mereka, yang mereka kenal di dunia nyata dan dunia maya. Itu artinya melalui media sosial, seseorang dapat saling terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.
Dengan keadaan seperti ini, Tidak dapat dipungkiri bila saat ini nilai-nilai dan norma-norma sosial mulai terkikis akibat banyak orang lebih memilih bersosialisasi melalui media sosial. Media sosial tidak hanya digunakan untuk berbagi momen-momen menyenangkan dan penting bagi penggunanya, tapi media sosial juga menjadi media informasi bagi banyak kalangan. Hadirnya media sosial dalam era sekarang ini telah melahirkan revolusi digital yang memengaruhi kehidupan manusia. Revolusi digital itu telah mengubah perilaku dan kultur masyarakat dalam berkomunikasi dan mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial inilah yang mengubah informasi menjadi lebih personal.
Media sosial adalah bentuk nyata demokratisasi dalam arti yang nyata. Di era media sosial ini audiens menjelma menjadi pengguna, dari media menjadi isi, dari monomedia menjadi multimedia, dari periodikal menjadi real time dari kelangkaan informasi menjadi keberlimpahan. Adanya media sosial menjadi alat instrumen baru untuk membangun demokrasi partisipatif secara alamiah. Karena dengan berkembangnya teknologi memudahkan komunikasi berkembang menjadi berbagai bentuk termasuk melalui media sosial. Dengan penggunaan media sosial ini menjadi sarana baru dalam membangun demokrasi.
Hadirnya media sosial tidak dapat dipandang sebelah mata karena dampaknya benar-benar dapat kita rasakan secara personal. Ketergantungan dibentuk media sosial karena menjembatani cara berkomunikasi manusia yang terbatas. Hadirnya media sosial pada sisi ini membantu kehidupan manusia dalam hal menyederhanakan cara berhubungan dengan orang lain. Namun, seperti pedang bermata dua, kehadiran media sosial sangat tergantung di tangan penggunanya.
Di tahun politik 2018-2019 media sosial mempunyai peran yang amat strategis. Bagaimana tidak, Sejak Pemilu 2014 media sosial dipandang menjadi alat yang efektif untuk berkampanye, beradu gagasan, termasuk menjatuhkan lawan yang berseberangan. Tingkat penggunaan media sosial untuk tujuan itu kian meningkat setiap tahunnya. hingga tahun 2019 ini, media sosial dijadikan sebagai media untuk berpolitik.
Media sosial yang hadir dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk kepentingan politik.  Di antara kelebihan media sosial adalah memiliki jangkauan yang sangat luas, segmen pengguna cenderung beragam dan tidak membutuhkan event khusus bagi pengguna untuk menikmati informasi yang disediakan. Akan tetapi, media sosial juga mempunyai kelemahan, di antaranya informasi yang sudah disebarkan tidak bisa diperbaiki/ ditarik kembali, pengguna yang tidak bertanggung jawab dapat membuat akun palsu untuk menyebar berita bohong atau hoaks bahkan digunakan untuk mengeksploitasi lawan politik dalam era pilkada dan pemilu.
Di tengah pertumbuhan media sosial yang semakin pesat, justru menjadi akar masalah dari persoalan-persoalan yang terjadi akhir-akhir ini. Yaitu mengenai persatuan bangsa. Mengapa? Karena melalui medsos banyak kalangan yang menyalahgunakannya untuk menebar kebencian, hujatan, hasutan, informasi hoax, serta paham radikal.
Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoax telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini.  Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam berbagai aspek kehidupannya. Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat, sengaja dibuat-buat atau bahkan mengada-ngada? Hoax ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.
Sungguh sangat disayangkan, Media sosial yang menjadi simbol kebebasan masyarakat mengakses komunikasi dan informasi justru menjadi senjata makan tuan bagi persatuan negeri. Kita dengan mudahnya dapat menjumpai akun-akun yang menebar kebencian atas nama kelompok, golongan, agama, dan perorangan yang beredar luas di media sosial. Hujatan dan hasutan yang dilontarkan sangat mudah sekali memengaruhi setiap individu pengguna media sosial. Ada yang menanggapi dengan sikap positif, namun tak sedikit yang ikut terpancing dan bersikap negatif. Masalah yang ada di media sosial justru ikut terbawa hingga ke dalam kehidupan masyarakat.
Kebebasan dalam sebuah negara demokrasi, bukanlah kebebasan yang terjadi seperti saat ini. Di mana kita bebas melontarkan hujatan, celaan, atau provokasi terhadap pihak lain. Kebebasan yang terjadi saat ini malah membuat kita tidak mau diatur dan tunduk pada peraturan. Kebebasan yang ada tidak menimbulkan rasa sadar diri akan persatuan bangsa, namun malah melahirkan sikap fanatik yang sempit.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa Internet dijdikan sebagai alat dalam menyebarluaskan kebencian, hasutan dan radikaslime, khususnya media sosial. Bukan hanya ketidakbijaksanaan individu yang menggunakan media sosial secara salah, namun dengan jumlah pengguna Internet di Indonesia yang sangat besar, pemerintah saat ini belum mendirikan badan keamanan siber nasional yang bertugas menangkal berbagai pengaruh buruk yang menyusup melalui internet. Cyber Patrol dan kinerja dari Kementrian Informasi dan Informatika dinilai sangat kurang dalam mengawasi penggunaan Internet di Indonesia. Bukan hanya peran pemerintah, tapi masyarakat juga berperan besar dalam menjaga persatuan negeri. Jangan sampai kita terpecah hanya karena tidak bijaksana dan terhasut dalam ber-sosial media.
Media sosial sebagai produk perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat kita hindari, menolak media sosial sangat tidak dianjurkan. Namun, bisa saja negara kita menjadi terpecah belah karena pemanfaatan media sosial yang tidak pada tempatnya. Maka bijaklah dalam menggunakan media sosial dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya.


TANTANGAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI

TANTANGAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI
Oleh : Sucia Novayanti

Sudah sejak satu dekade lalu media sosial diprediksi akan turut menyemarakkan kontestasi politik di negeri ini. Penggunaan media sosial untuk penggalangan masyarakat, penanganan bencana, penyebarluasan simpati kepada yang tidak didengar, sudah sering kita dengar sejak bermunculan kasus ‘Koin untuk Prita’, ‘Perlawanan Cicak Vs Buaya’, dan lain-lain. Tak ayal dunia politik pun turut mempergunakan sarana media sosial sebagai bagian penting dari kampanye politik, bahkan menjadi suatu kancah baru kontestasi di antara politisi.
Sudah sejak dua pemilihan umum nasional terakhir (2009 dan 2014) media sosial menjadi suatu ranah baru yang perlu diperhitungkan. Silakan dicermati, dalam dua pemilu terakhir itu kita melihat penggalangan massa kampanye dalam bentuk pawai, pertemuan besar di lapangan terbuka, dan sebagainya, mendapat saingan berat dengan adanya media sosial, yang telah menghasilkan lapangan baru untuk berkompetisi, saling cari simpati, serta mencerca para pesaing.
Pertanyaannya kemudian adalah, ketika media sosial makin berkembang dan mulai mengungguli pertemuan massal yang bersifat fisik, apakah kompetisi atau kontestasi politik ini menjadi berjalan lebih baik atau menjadi lebih anarkis?Atau dalam bahasa lain, apakah media sosial betul memberikan suatu sumbangan bagi situasi demokrasi deliberatif, di saat berbagai pihak yang berkontestasi mendapat ruang untuk didengar dan akhirnya, mereka yang terbaiklah yang kemudian menjadi pilihan masyarakat?
Jika kita bicara dari konteks yang negatif, mana yang lebih merugikan, pengerahan massa lewat pawai yang rentan berbenturan dengan kelompok massa lainnya atau pengerahan opini, misinformasi, fabrikasi yang dihasilkan dalam bentuk informasi lewat media online atau media sosial, yang bisa menghasilkan kecurigaan lebih dalam, antipati pada kelompok lain, dan ketidakmauan mendengar pandangan yang berbeda?
Sebelum menjawab itu dalam konteks Indonesia, kita mungkin perlu mencermati mengapa majalah asal Inggris, The Economist, dalam edisi 4-10 November 2017 sampai menulis headlineSocial media’s threat to democracy?’ Apakah sedemikian parahnya situasi media sosial yang ada saat ini sehingga The Economist tak ragu menyebutnya sebagai ‘ancaman bagi demokrasi’. Dalam konteks apa, The Economist sampai pada kesimpulan demikian?
Editorial yang diajukan The Economist menyebutkan ‘media sosial pernah tampil dengan suatu harapan bahwa mereka akan memberikan pencerah­an pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat, dan komunikasi yang tak henti-hentinya ditujukan untuk membantu orang-orang baik untuk memberantas korupsi, memerangi kebodohan, serta mengungkap kebohongan’. Akan tetapi, melihat kenyataannya, harapan tadi tinggallah harapan yang menjadi niatan baik, tetapi sulit terwujud sebagai kenyataan.
Berkaca pada pemilihan umum di Amerika pada 2015, data yang dikutip The Economistmenunjuk pada kenyataannya banyak sekali warga Amerika yang mengakses misinformasi yang dilakukan Rusia dalam platform seperti Facebook dan kanal YoutubeThe Economistmenambahkan fenomena politik menjadi makin buruk tidak hanya terjadi di Amerika, tetapi juga di Spanyol dan Afrika Selatan.
The Economist menyimpulkan ‘penggunaan media sosial tidak hanya menyebabkan keterbelahan dalam masyarakat, tetapi juga penyebarluasan keterbelahan itu’. Majalah ini berharap media sosial, walaupun telah disalahgunakan sejumlah pihak, dengan suatu keinginan kuat, masyarakat dapat meredamnya dan mimpi tentang pencerahan dalam masyarakat masih akan bisa terwujud.
Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoax telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini. Filsuf Jerman, Jurgen Habermas, percaya bahwa masyarakat perlu menerapkan apa yang ia sebut sebagai demokrasi deliberatif, yaitu kesempatan kepada banyak pihak untuk menyampaikan pendapat mereka, yang paling berbeda sekalipun, dan kemudian membiarkan masyarakat mengambil keputusan atas informasi yang beragam tersebut.
Hoax di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam pelbagai aspek kehidupannya.
Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat, sengaja dipelintir ataupun difabrikasi? Hoaks ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.
Menatap 2018
Media sosial di Indonesia yang terkait dengan politik berkembang atas tiga motif dasar menurut saya. Pertama ialah sebagai bagian dari perluasan pengaruh politik dari kandidat tertentu kepada para konstituennya ataupun kepada mereka yang belum punya pilihan.
Kedua, sebagai bagian dari strategi kampanye sekaligus strategi menyerang yang ditujukan pada pihak lawan. Ketiga, sebagai bagian dari kegiatan ekonomi yang bisa bertumpang tindih dengan motif lainnya.
Atas dasar itulah, kita akan melihat media sosial bakal semakin masif dipergunakan politisi, para pendukung, dan elemen lainnya untuk memenangi pertarungan politik. Pembuatan konten tertentu untuk menjatuhkan lawan, mempromosikan kandidat sendiri, pastilah akan marak dalam tahun mendatang dan hal ini tak mengherankan. Kelihatannya problem soal hoaks tidak akan berhenti sampai di sini, malah ia menemukan momentum untuk terus berkembang dan dimanfaatkan kelompok mana pun.
Apakah di sini lalu kita bisa menilai, apakah media sosial memberikan kontribusi positif pada pembentukan jembatan untuk memperkecil rasa curiga, memperbesar apresiasi, dan mencari titik-titik temu di antara dua atau tiga kubu yang bertarung? Rasanya kita harus jujur untuk mengatakan media sosial cenderung memperluas jurang perbedaan antarkelompok yang ada dan media sosial tak lebih dari suatu ekstensi (perpanjangan) dari politik elite yang dilakukan para kandidat dan menyebarluaskan kepada para pendukung mereka.
Dengan logika algoritma yang ada dalam media sosial, kita akan cenderung mengonsumsi apa yang ‘sejalan dengan pikiran kita’ dan kita cenderung ‘menghindar atau tak mau mengonsumsi apa yang datang dari seberang’.
Jika bicara politik dalam arti elite, kita mungkin akan jatuh pada pesimisme karena lalu kita akan terjebak pada politik ‘zero sum game’. Dia menang atau kita menang. Tak ada ruang dialog, tak ada ruang bargaining, tak ada ruang dialog argumentatif yang memberi ruang-ruang untuk saling mendengar dan menerima pandangan pihak lain. Media sosial menjadi tempat semua kekesalan itu ditumpahkan.
Media Digital Lictery
Dalam kondisi semacam ini, lalu apa yang perlu kita lakukan? Jika media sosialnya sendiri lewat hukumnya yang berlaku memang sulit melakukan perubahan, yang perlu diintervensi adalah para penggunanya. Ya, kita sendiri. Jika kita menjuluki perangkat gadget yang kita pegang itu sebagai ‘smartphone’, apakah penggunanya (ya, kita sendiri) sudah lebih pandai daripada gadget itu sendiri? Jangan-jangan kita malah tertinggal jauh.
W. James Potter menulis Media Literacy (2013, 6th Ed) dan ia mengatakan literacy awalnya merujuk pada kemampuan seseorang untuk membaca bahan yang tertulis. Dalam perkembangannya literacy berkembang menjadi visual literacystory literacycomputer literacy, dan kini digital media literacy.Jadi digital media literacy berarti kemampuan seseorang untuk bisa memproses informasi yang datang dari aneka jenis platform (mulai yang mainstream hingga yang digital).
Satu hal yang ditekankan Potter--walau ia mengambil sisi yang lebih seimbang--konsep media literacy berangkat dari asumsi ‘media itu bisa merusak’. Namun, Potter mencoba i­ngin menyeimbangkan pendapat bahwa media bisa merusak, tapi media juga bisa membantu, bisa mencerahkan, bisa berguna, dan lain-lain.
Dalam konteks ini media sosial yang sama, yang bisa dipergunakan untuk menyerang lawan, merusak reputasi dan lain-lain, juga bisa dipergunakan untuk membangun kebersamaan, menjembatani disharmoni, serta menyebarluaskan pencerahan bagi masyarakat.Butuh pihak yang memikirkan dan bekerja untuk hal ini karena percepatan kepemilikan dan penggunaan media sosial sedemikian masif di Indonesia dan secepat itu pula kita membutuhkan pendidikan digital media literacy bagi para pengguna gadget di sekitar kita.
Dengan pengetahuan serta ketrampilan digital media literacy, kita akan diajak untuk menggunakan media secara bijak, tidak jatuh dalam perangkap menyebarluaskan ungkapan kebencian (hate speech), tidak jadi konsumen dan distributor hoaks. Sebaliknya, bisa menjadi peredam efek negatif media sosial dan bahkan bisa menghasilkan sesuatu yang lebih produktif dan bermanfaat dari media sosial yang kita miliki, dan kita pergunakan sehari-hari itu.
Lewat pendekatan nonelite seperti ini, mungkin kita bisa kembali mena­ruh harapan pada media sosial sebagai sesuatu yang mencerahkan, punya kekuatan dan daya jangkau yang luar biasa mengagumkan. Niatan-niatan baik akan bisa disokong siapa pun walaupun kita memiliki pilihan politik yang berbeda.

Media sosial perlu dikembalikan pada fungsi mencerahkan seperti ini, setelah sekian lama diperalat untuk pengabdian pada kepentingan politik kekuasaan semata. Untuk itu, mari kita bersiap untuk turut berpartisipasi memanfaatkan media sosial yang lebih mencerahkan itu.

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KAMPANYE

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KAMPANYE
Oleh: Ainur Risa
Mahasiswa PGMI, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah, Siman-Sekaran-Lamongan.



            Media sosial adalah sebuah media online (daring), dengan para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi dan menciptakan isi yang menggunakan teknologi berbasis website atau aplikasi yang dapat mengubah suatu komunikasi ke dalam bentuk dialog interaktif. Yang memiliki banyak fungsi salah satu diantaranya adalah sebagai media komunikasi antara pengusaha ataupun tokoh masyarakat dengan pengguna media sosial lainnya.
            Pengaruh media sosial terhadap kehidupan masyarakat sangat besar, tidak terkecuali dalam negara Indonesia. Hal ini ditunjukkan berdasarkan data We Are Social dan Hootsuite (2018) disebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia sebesar 132 juta orang yang mana setengah atau lebih dari 50% penduduk Indonesia bisa mengakses internet. Dengan media sosial, masyarakat semakin mudah mengakses ribuan informasi yang tersebar dengan cepat dari berbagai belahan dunia. Sehingga banyak orang  yang memanfaatkan media sosial selain sebagai alat komunikasi juga digunakan untuk bertukar informasi, menjalankan bisnis, hingga sarana untuk melakukan kampanye.
            Media sosial memiliki peran penting bagi kandidat politik terkait dengan program kampanye jelang pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) di tahun 2019. Kampanye yang dimaksud yakni upaya dalam mendapatkan dukungan dari sejumlah besar khalayak yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang secara teroganisir dalam suatu proses pengambilan keputusan dan dilakukan secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu yang bertujuan untuk menciptakan dampak atau efek tertentu baik saat pemilihan umum legislatif, pemilu calon presiden, maupun pemilihan umum kepala daerah dan sebagainya.
            Andrew Chadwick (2006) menyebutkan bahwa terdapat tiga poin penting penggunaan internet mempengaruhi lanskap partai politik dalam kampanye, diantaranya adalah:
1.      Media sosial akan meningkatkan kompetisi partai.
       Dengan adanya internet sebagai media yang murah dan mudah diakses dimana masyarakat Indonesia juga aktif dalam menggunakan media sosial maka, dapat memungkinkankan partai politik kecil untuk menjangkau pendukung yeng berpotensial serupa dengan partai besar.
2.      Media sosial dapat meningkatkan interaksi masyarakat dengan partai politik maupun kandidat.
        Dengan menunjukkan berbagai prestasi dan kelebihan yang dimiliki oleh partai politik tersebut, masyarakat akan lebih mudah untuk dipengaruhi dan menarik simpati masyarakat untuk memilihnya hanya dengan menggunakan media, karena seperti yang kita ketahui masyarakat Indonesia termasuk pengguna media sosial terbanyak.
3.      Sebagai adaptasi kelembagaan.
       Yang maksudnya adalah adanya pergeseran bentuk aktifitas politik offline ke online. Dimana partai politik maupun seorang kandidat mampu memanfaatkan media sosial dan kampanye sama dengan politik offline.
            Banyak para calon pejabat memanfaatkan media sosial sebagai sarana berkampanye dengan menunjukkan keungulan yang dimiliki bahkan menaikkan pamor mereka yang akan bersaing dalam pemilihan umum. Sehingga banyak para pejabat pemerintah yang memiliki followers rata-rata ratusan ribu ke atas. Hal ini membuat mereka lebih dikenal oleh masyarakat.
            Namun, dalam pemanfaatan media sosial sebagai alat untuk kampanye tidak selalu menguntungkan, seperti masih adanya ketimpangan infrastruktur di Indonesia yang akhirnya menyebabkan kesenjangan digital dan mengingatkan bahwa dengan memiliki teknologi seperti media sosial tidak menjamin penggunanya akan sesuai. Dimana media sosial hanya digunakan untuk mendukung cara kampanye politik yang lama dan mengabaikan potensi sesungguhnya dari media sosial. Memungkinkan juga untuk oknum yang memanfaatkan media sosial untuk menjatuhkan lawan dengan membuat isu yang tidak benar atau yang dikenal dengan berita Hoax.

            Oleh sebab itu, partai politik dan kandidat seharusnya menggunakan website dan media sosial secara interaktif, sehingga dapat mendekatkan dengan calon pemilih, dan tercipta suasana politik yang tidak ternodai dengan isu-isu yang tidak benar.  

Pengunaan Media Sosial Yang Luas Dan Tidak Terkendali Sebagai Tantangan Demokrasi Indonesia

Pengunaan Media Sosial Yang Luas Dan Tidak Terkendali Sebagai Tantangan Demokrasi Indonesia

oleh Kharisatul Ikrimah
Mahasiswa PGMI Semester VII
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah Siman

Globalisasi adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan dalam sebuah proses perubahan yang ada. Globalisasi menyebabkan banyaknya kemudahan yang didapatkan manusia dalam menjalankan berbagai kegiatannya. Tidak ada batasan antara negara, tidak ada sekat yang menghalangi manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain di belahan bumi manapun.
Menurut Laurence E. Rotenberg Globalisasi adalah percepatan dan intensifikasi interaksi dan integrasi antara orang-orang, perusahaan, dan pemerintah dari negara yang berbeda. Hal ini membuat tidak adanya batas antar negara yang menjadi sekat. Sedangkan Steger memiliki pendapat yang berbeda mengenai globalisasi, menurutnya Globalisasi adalah kondisi sosial yang ditandai dengan adanya interkoneksi ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan global dan arus yang membuat banyak dari perbatasan saat ini sudah ada dan batas – batas tidak relevan. Menurut George Ritzer, era globalisasi ditandai dengan adanya inovasi di bidang komunikasi. Salah satu contohnya adalah ditemukannya televise dan telepon yang pada akhirnya membuat masyarakat  global menjadi sadar akan hal tersebut.
Media Sosial dalam Hukum Indonesia
Perkembangan masyarakat telah sampai pada masyarakat digital informasi, yang dimaksudkan sebagai masyarakat dapat dengan mudah mengakses informasi dari mana pun dan kapan pun bahkan seluruh masyarakat dapat mengutarakan pendapat nya melalui dunia digital dengan alat media sosial. Pada era ini, Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah Mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.
Kegiatan melalui media sistem elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space), meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal yang lolos dari pemberlakuan hukum. Kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Media sosial dalam demokrasi berpolitik Indonesia
Ternyata Media sosial juga bisa dimanfaatkan sebagai sarana berpolitik kotor seperti pelaksanaan black campaign, caranya adalah dengan penyebaran hoax atau berita bohong/palsu yang disebar ke seluruh masyarakat melalui media sosial seperti whatsapp, facebook, twitter, dan Instagram untuk menjatuhkan salah satu pasangan calon dengan isu yang tidak benar atau dibuat-buat. Contoh kasus yang terjadi dan masih hangat adalah kasus Ratna Sarumpaet. Seperti yang kita ketahui bersama, kasus ini sangatlah viral, mengapa?.Pem viral an ini dilakukan oleh teman-teman beliau yang merupakan timses Prabowo karena beliau menyalahkan dan menuduh negara dan Pemerintah yang saat ini menjabat telah menganiaya beliau dengan menggunakan media sosial dan melakukan pergerakan solidaritas oleh Hariman Siregar sebagai aktivis reformasi dan aktifis #2019GantiPresiden dengan tuduhan penganiayaan ini dilakukan Pemerintah karena ketidaksenangan pemerintah atas kritik yang diberikan oleh Ratna Sarumpaet.

Simpulan
Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of  information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara.

Sebaiknya media sosial bisa di gunakan secara bijak dengan pengunanya media sosial saat ini sangat banyak sekali dan bahkan semuanya urusan mengunakan media sosisl untuk mendeteksi kejahatan sekarang juga bisa mengunakan media sekali, kita sebagai warga indonesia harus bisa memanfaatkan media sosial untuk mengakses hal hal yang positif agar negara kita maju karna warga indonesia yang cerdas.