Kamis, 10 Januari 2019

ANTARA KEBEBASAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI DIGITAL

ANTARA KEBEBASAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI DIGITAL
Oleh:   Laila F. Rosyidah
           
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya yang mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Harris Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) bahwa “Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan rakyat. Artinya rakyat atau orang banyak merupakan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan. Mereka memiliki hak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi diri mereka dari adanya paksaan dari wakil-wakil mereka, yaitu orang-orang atau badan yang diserahi wewenang untuk memerintah.”
Dengan menggunakan sistem demokrasi pancasila sebagai dasar kebebasan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat, menuntut adanya kehidupan yang demokratis melalui hukum dan peraturan yang dibuat berdasarkan kehendak rakyat, ketentraman dan ketertiban akan lebih mudah diwujudkan. Tata cara pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandaskan atas mekanisme konstitusional karena penyelenggaraan pemeritah Negara Republik Indonesia berdasarkan konstitusi. Demokrasi pancasila hanya akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat dipahami dan dihayati sebagai nilai-nilai budaya politik yang mempengaruhi sikap hidup politik pendukungnya. Kegagalan demokrasi Pancasila pada zaman orde baru, bukan berasal dari konsep dasar demokrasi pancasila melainkan lebih kepada praktik atau pelaksanaanya yang mengingkari keberadaan demokrasi Pancasila.
Indonesia sejak akhir abad yang lalu telah mengalami yang namanya modernisasi atau modernitas. Mengutip pendapat dari Wilbert E Moore yang menyatakan “modernisasi ialah suatu transformasi total pada kehidupan bersama yang tradisional atau juga pra modern dalam arti teknologi dan juga organisasi sosial ke arah suatu pola-pola ekonomis dan juga politis yang menjadi suatu ciri Negara barat yang stabil”. Dari pengertian tersebut, modernisasi di Indonesia berdampak pada Perubahan Tata Nilai dan Sikap, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta gaya dan pola hidup masyarakat. Salah satu bentuk modernisasi masyarakat Indonesia adalah penggunaan fasilitas internet sebagai wujud perkembangan teknologi.  Argumen utamanya adalah bahwa teknologi informasi, media sosial khususnya, menjadi instrumen dan arena belajar demokrasi yang efektif sepanjang praktek tersebut berlaku sebagai kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, penguatan kewarganegaraan yang aktif, dan mendorong pelembagaan representasi politik. Tanpa panduan epistemologi politik ini, demokrasi digital beresiko menghadirkan mobokrasi, melanggengkan oligarki, dan mempromosikan teokrasi.
Setelah rezim Soeharto tumbang, di era Reformasi, khasanah media di Indonesia memasuki babak baru: era Internet, era digital. Internet menjadi dunia yang betul-betul baru. Sejarah mencatat, media-media baru selalu hadir seiring dengan perkembangan teknologi. Perkembangan media erat terkait dengan perkembangan teknologi. Kehadiran media-media baru itu tentu bukan alasan. Alasan utamanya adalah Internet kini menjadi kerumun­ an baru. Menurut laporan www.Internetworldstats.com per 31 Desember 2012, jumlah pengguna Internet di Indonesia adalah terbesar keempat di Asia setelah China (513 juta pengguna), India (121 juta), dan Jepang (101,2 juta). Di periode yang sama, 65 juta masyarakat Indonesia tersambung dengan Internet. Padahal tahun 2000, pengguna Internet di Indonesia hanya tercatat sebesar dua juta orang. Artinya, dalam 12 tahun terjadi pertumbuhan hingga 2.750 persen. Tingginya pengguna Internet di Indonesia juga terasa di jagat media sosial. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan aktivitas media sosial yang paling aktif sejagat.
Media memainkan peranan penting dalam demokrasi. Edmun Burke menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi . Dengan menyebut media sebagai pilar keempat, Burke ingin menegaskan ihwal fungsi media untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam konsep Trias Politica Montesquieu, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi media sebagai anjing penjaga (watchdog) hadir dalam setiap berita yang disajikan. Menegaskan soal ini, kerap pula disebut bahwa berita adalah darah kehidupan bagi demokrasi (Fenton, 2010). Sebab salah satu indicator demokrasi yang sehat, adalah adanya pertukaran informasi yang simetris. Dalam konteks tersebut, jurnalisme memegang pe­ ranan penting dalam diseminasi informasi kepada pub- lik.Sementara,informasimerupakansalahsatuatmosfer penting agar benih-benih demokrasi yang hadir antara lain dalam keseteraan dan keterbukaan akses menyampaikan gagasan, dapat tumbuh subur. Kerja-kerja jurnalistik sangat dipengaruhi oleh lingkungan medium itu, yang menyangkut beragam faktor seperti sosial, politik, ekonomi, regulasi, dan teknologi di dalamnya. Maka peradaban kita hari ini berada pada masa transisi ketika Internet hadir dan mengoyak beragam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk media, baik secara jurnalistik maupun bisnis.
Kita tiba-tiba dihadapkan pada pertumbuhan pengguna Internet dan perkembangan konten yang demikian masif. Euforia kebebasan berekspresi di Internet dihadapkan pada ketegangan antara hak asasi mengemukakan pendapat di satu pihak dan faktor keamanan serta kriminalisasi tuduhan pencemaran nama baik di pihak lain. Industri media sontak juga dihadapkan pada masalah transformasi digital. Pertumbuhan pengguna Internet berimplikasi pada penurunan pembaca media cetak dan bergesernya aras bisnis ke dunia maya. Persoalan juga semakin kompleks ketika Internet membuka beragam kemungkinan konvergensi layanan informasi. Tentu saja ini menggembirakan karena publik mendapat kesempatan untuk mendapatkan beragam informasi secara lebih luas, beragam, dan murah. Namun, bagi media, perubahan ini menjadi tidak sederhana ketika Internet kemudian juga mereduksi kualitas konten dan menggoncang aspek bisnis industri.
Di seluruh dunia, Internet menimbulkan kegamangan bagi media. Peran “watchdog” tak lagi dimonopoli sebab Internet juga membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya, bahkan me­ngontrol media. Internet juga telah ‘memaksa’ media tak lagi hanya menyajikan informasi satu arah, juga menye- diakan beragam layanan interaktif yang memungkinkan publik mengekspresikan pendapat mereka. Laman-laman itu hadir dalam bentuk kolom-kolom komentar di bawah berita, forum, juga blog. Kini Internet tak terbantahkan perannya dalam menguatkan demokrasi. Bagaimana Internet dan media daring (online) dapat menguatkan demokrasi? Untuk menjawab pertanyaan itu, baik kalo kita melongok sebentar gagasan Jurgen Habermas mengenai ruang publik (public sphere). Pilihan atas sistem demokrasi mensyaratkan terjaminnya kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, dan kebebasan pers. Menurut Habermas, sebuah negara disebut demokratis jika ia menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya, gagasannya, bahkan meng- kritik kekuasaan (Habermas, 2000). Ia mengidentifi- kasi, aktor-faktor penting yang mendorong kebangkitan revolusi demokratis abad 18 dan 19 adalah munculnya penghargaan terhadap ruang publik bagi wacana yang berkembang di masyarakat.
 Ruang publik adalah sebuah forum atau arena yang menjadi penengah antara negara dan masyarakat. Di dalam arena itu setiap warga negara dapat menyampaikan gagasannya secara terbuka bahkan mengkritik ketidakadilan yang dijalankan pemegang kekuasaan. Ruang publik itu bersifat independen terhadap pemerintahan dan kekuatan ekonomi dan didedikasikan pada diskursus rasional yang bersifat terbuka dan dapat diakses setiap warga negara demi terbangunnya sebuah opini publik yang sehat.

Sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia, semua orang memiliki hak untuk bebas berekspresi. Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang bisa membedakan mana gagasan yang baik dan tidak baik. Kedewasaan masyarakat yang sehat atas penggunaan ruang publik akan berkembang jika negara memberi ruang yang cukup bagi setiap warga negara untuk mengaktualisasikan gagasan, bukan dengan membatasinya. Namun,dari kebebasan itu hendaknya kita memanfaatkan secara baik dan menggunakannya secara bijak agar apa yang kita ekspresikan melalui internet khususnya media social tidak menimbulkan perkara yang bisa menimbulkan bagi diri sendiri, orang lain, maupun merusak tatanan masyarakat dalam berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar