Kamis, 10 Januari 2019

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DALAM BERDEMOKRASI DAN HOAX ADALAH TANTANGAN TERBESARNYA

MEDIA SOSIAL SEBAGAI ALAT KOMUNIKASI DALAM BERDEMOKRASI
DAN HOAX ADALAH TANTANGAN TERBESARNYA

Oleh Af’idatus Shofiyah
Semester VII
Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al-Fattah


Di Era Millenial seperti saat ini, kita diberikan kemudahan untuk mengakses berbagai informasi melalui Internet di mana saja dan kapan saja. Bahkan, tidak hanya orang dewasa saja, melainkan dari semua kalangan sudah tidak asing lagi dengan dunia internet.  Semua orang merasakan kemudahan yang diberikan internet dalam segala macam situasi dan kondisi, dari mulai segala macam hal yang positif sampai dengan yang negatif. Semua dapat diakses dengan mudahnya oleh semua orang melalui internet. Salah satu kemudahan yang diberikan oleh internet adalah mempermudah jalinan komunikasi antar individu melalui media sosial.
Hal ini sesuai dengan pendapat Zarella dalam Aditya (2015: 51), bahwa media sosial adalah situs yang menjadi tempat orang-orang berkomunikasi dengan teman-teman mereka, yang mereka kenal di dunia nyata dan dunia maya. Itu artinya melalui media sosial, seseorang dapat saling terhubung dengan setiap orang yang tergabung dalam media sosial yang sama untuk berbagi informasi dan berkomunikasi.
Dengan keadaan seperti ini, Tidak dapat dipungkiri bila saat ini nilai-nilai dan norma-norma sosial mulai terkikis akibat banyak orang lebih memilih bersosialisasi melalui media sosial. Media sosial tidak hanya digunakan untuk berbagi momen-momen menyenangkan dan penting bagi penggunanya, tapi media sosial juga menjadi media informasi bagi banyak kalangan. Hadirnya media sosial dalam era sekarang ini telah melahirkan revolusi digital yang memengaruhi kehidupan manusia. Revolusi digital itu telah mengubah perilaku dan kultur masyarakat dalam berkomunikasi dan mengonsumsi berita. Kehadiran media sosial inilah yang mengubah informasi menjadi lebih personal.
Media sosial adalah bentuk nyata demokratisasi dalam arti yang nyata. Di era media sosial ini audiens menjelma menjadi pengguna, dari media menjadi isi, dari monomedia menjadi multimedia, dari periodikal menjadi real time dari kelangkaan informasi menjadi keberlimpahan. Adanya media sosial menjadi alat instrumen baru untuk membangun demokrasi partisipatif secara alamiah. Karena dengan berkembangnya teknologi memudahkan komunikasi berkembang menjadi berbagai bentuk termasuk melalui media sosial. Dengan penggunaan media sosial ini menjadi sarana baru dalam membangun demokrasi.
Hadirnya media sosial tidak dapat dipandang sebelah mata karena dampaknya benar-benar dapat kita rasakan secara personal. Ketergantungan dibentuk media sosial karena menjembatani cara berkomunikasi manusia yang terbatas. Hadirnya media sosial pada sisi ini membantu kehidupan manusia dalam hal menyederhanakan cara berhubungan dengan orang lain. Namun, seperti pedang bermata dua, kehadiran media sosial sangat tergantung di tangan penggunanya.
Di tahun politik 2018-2019 media sosial mempunyai peran yang amat strategis. Bagaimana tidak, Sejak Pemilu 2014 media sosial dipandang menjadi alat yang efektif untuk berkampanye, beradu gagasan, termasuk menjatuhkan lawan yang berseberangan. Tingkat penggunaan media sosial untuk tujuan itu kian meningkat setiap tahunnya. hingga tahun 2019 ini, media sosial dijadikan sebagai media untuk berpolitik.
Media sosial yang hadir dengan segala kelebihan dan kekurangannya itu dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk kepentingan politik.  Di antara kelebihan media sosial adalah memiliki jangkauan yang sangat luas, segmen pengguna cenderung beragam dan tidak membutuhkan event khusus bagi pengguna untuk menikmati informasi yang disediakan. Akan tetapi, media sosial juga mempunyai kelemahan, di antaranya informasi yang sudah disebarkan tidak bisa diperbaiki/ ditarik kembali, pengguna yang tidak bertanggung jawab dapat membuat akun palsu untuk menyebar berita bohong atau hoaks bahkan digunakan untuk mengeksploitasi lawan politik dalam era pilkada dan pemilu.
Di tengah pertumbuhan media sosial yang semakin pesat, justru menjadi akar masalah dari persoalan-persoalan yang terjadi akhir-akhir ini. Yaitu mengenai persatuan bangsa. Mengapa? Karena melalui medsos banyak kalangan yang menyalahgunakannya untuk menebar kebencian, hujatan, hasutan, informasi hoax, serta paham radikal.
Kita sama-sama tahu bahwa fenomena hoax telah mencemari atau menebar racun dalam demokrasi yang kita jalani saat ini.  Hoaks di sini bukanlah merupakan bagian dari demokrasi karena jika diteropong lewat pendekatan kebebasan memperoleh informasi (freedom of information), masyarakat perlu memiliki informasi yang lengkap dan terbuka untuk mengambil keputusan dalam berbagai aspek kehidupannya. Apa yang akan terjadi jika informasi yang ingin dijadikan pegangan ialah informasi yang tak akurat, sengaja dibuat-buat atau bahkan mengada-ngada? Hoax ini racun bagi suatu kebebasan memperoleh informasi, sementara kita sering mendengar bahwa kebebasan memperoleh informasi adalah oksigen bagi demokrasi.
Sungguh sangat disayangkan, Media sosial yang menjadi simbol kebebasan masyarakat mengakses komunikasi dan informasi justru menjadi senjata makan tuan bagi persatuan negeri. Kita dengan mudahnya dapat menjumpai akun-akun yang menebar kebencian atas nama kelompok, golongan, agama, dan perorangan yang beredar luas di media sosial. Hujatan dan hasutan yang dilontarkan sangat mudah sekali memengaruhi setiap individu pengguna media sosial. Ada yang menanggapi dengan sikap positif, namun tak sedikit yang ikut terpancing dan bersikap negatif. Masalah yang ada di media sosial justru ikut terbawa hingga ke dalam kehidupan masyarakat.
Kebebasan dalam sebuah negara demokrasi, bukanlah kebebasan yang terjadi seperti saat ini. Di mana kita bebas melontarkan hujatan, celaan, atau provokasi terhadap pihak lain. Kebebasan yang terjadi saat ini malah membuat kita tidak mau diatur dan tunduk pada peraturan. Kebebasan yang ada tidak menimbulkan rasa sadar diri akan persatuan bangsa, namun malah melahirkan sikap fanatik yang sempit.
Kita tidak dapat menutup mata bahwa Internet dijdikan sebagai alat dalam menyebarluaskan kebencian, hasutan dan radikaslime, khususnya media sosial. Bukan hanya ketidakbijaksanaan individu yang menggunakan media sosial secara salah, namun dengan jumlah pengguna Internet di Indonesia yang sangat besar, pemerintah saat ini belum mendirikan badan keamanan siber nasional yang bertugas menangkal berbagai pengaruh buruk yang menyusup melalui internet. Cyber Patrol dan kinerja dari Kementrian Informasi dan Informatika dinilai sangat kurang dalam mengawasi penggunaan Internet di Indonesia. Bukan hanya peran pemerintah, tapi masyarakat juga berperan besar dalam menjaga persatuan negeri. Jangan sampai kita terpecah hanya karena tidak bijaksana dan terhasut dalam ber-sosial media.
Media sosial sebagai produk perkembangan teknologi dan informasi tidak dapat kita hindari, menolak media sosial sangat tidak dianjurkan. Namun, bisa saja negara kita menjadi terpecah belah karena pemanfaatan media sosial yang tidak pada tempatnya. Maka bijaklah dalam menggunakan media sosial dan manfaatkan dengan sebaik-baiknya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar