ANTARA KEBEBASAN MEDIA SOSIAL DAN DEMOKRASI
DIGITAL
Oleh: Laila F.
Rosyidah
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak
setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi
mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui
perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang
memungkinkan adanya praktik kebebasan
politik secara
bebas dan setara. Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip
tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya yang mengandung makna
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Sebagaimana yang diungkapkan
oleh Harris
Soche (Yogyakarta : Hanindita, 1985) bahwa “Demokrasi merupakan suatu bentuk pemerintahan rakyat. Artinya
rakyat atau orang banyak merupakan pemegang kekuasaan dalam pemerintahan.
Mereka memiliki hak untuk mengatur, mempertahankan, serta melindungi diri mereka
dari adanya paksaan dari wakil-wakil mereka, yaitu orang-orang atau badan yang
diserahi wewenang untuk memerintah.”
Dengan menggunakan sistem demokrasi
pancasila sebagai dasar kebebasan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat,
menuntut adanya kehidupan yang demokratis melalui hukum dan peraturan yang
dibuat berdasarkan kehendak rakyat, ketentraman dan ketertiban akan lebih
mudah diwujudkan. Tata cara pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandaskan atas
mekanisme konstitusional karena penyelenggaraan pemeritah Negara Republik Indonesia berdasarkan konstitusi. Demokrasi pancasila hanya
akan dapat dilaksanakan dengan
baik apabila nilai-nilai yang terkandung didalamnya dapat
dipahami dan dihayati sebagai nilai-nilai budaya politik yang mempengaruhi sikap
hidup politik pendukungnya. Kegagalan demokrasi Pancasila pada zaman orde baru,
bukan berasal dari konsep dasar demokrasi pancasila melainkan lebih kepada
praktik atau pelaksanaanya yang mengingkari keberadaan demokrasi Pancasila.
Indonesia sejak akhir abad yang lalu
telah mengalami yang namanya modernisasi atau modernitas. Mengutip
pendapat dari Wilbert E Moore yang menyatakan “modernisasi
ialah suatu transformasi total pada kehidupan bersama yang tradisional
atau juga pra modern dalam arti teknologi dan juga organisasi sosial ke
arah suatu pola-pola ekonomis dan juga politis yang menjadi suatu ciri Negara
barat yang stabil”. Dari pengertian tersebut, modernisasi di Indonesia
berdampak pada Perubahan Tata Nilai dan Sikap, ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta gaya dan pola hidup masyarakat. Salah satu bentuk modernisasi
masyarakat Indonesia adalah penggunaan fasilitas internet sebagai wujud
perkembangan teknologi. Argumen utamanya adalah bahwa teknologi informasi, media sosial
khususnya, menjadi instrumen dan arena belajar demokrasi yang efektif sepanjang
praktek tersebut berlaku sebagai kontrol publik terhadap penyelenggaraan
pemerintahan, penguatan kewarganegaraan yang aktif, dan mendorong pelembagaan
representasi politik. Tanpa panduan epistemologi politik ini, demokrasi digital
beresiko menghadirkan mobokrasi, melanggengkan oligarki, dan mempromosikan
teokrasi.
Setelah rezim Soeharto tumbang, di
era Reformasi, khasanah media di Indonesia memasuki babak baru: era Internet,
era digital. Internet menjadi dunia yang betul-betul baru. Sejarah mencatat,
media-media baru selalu hadir seiring dengan perkembangan teknologi.
Perkembangan media erat terkait dengan perkembangan teknologi. Kehadiran
media-media baru itu tentu bukan alasan. Alasan utamanya adalah Internet kini menjadi
kerumun an baru. Menurut laporan www.Internetworldstats.com per 31 Desember
2012, jumlah pengguna Internet di Indonesia adalah terbesar keempat di Asia
setelah China (513 juta pengguna), India (121 juta), dan Jepang (101,2 juta).
Di periode yang sama, 65 juta masyarakat Indonesia tersambung dengan Internet.
Padahal tahun 2000, pengguna Internet di Indonesia hanya tercatat sebesar dua
juta orang. Artinya, dalam 12 tahun terjadi pertumbuhan hingga 2.750 persen.
Tingginya pengguna Internet di Indonesia juga terasa di jagat media sosial.
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan aktivitas media sosial yang
paling aktif sejagat.
Media memainkan peranan penting
dalam demokrasi. Edmun Burke menyebut media sebagai pilar keempat demokrasi .
Dengan menyebut media sebagai pilar keempat, Burke ingin menegaskan ihwal
fungsi media untuk mengawasi kinerja pemerintahan dalam konsep Trias Politica
Montesquieu, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi media sebagai
anjing penjaga (watchdog) hadir dalam setiap berita yang disajikan. Menegaskan
soal ini, kerap pula disebut bahwa berita adalah darah kehidupan bagi demokrasi
(Fenton, 2010). Sebab salah satu indicator demokrasi yang sehat, adalah adanya
pertukaran informasi yang simetris. Dalam konteks tersebut, jurnalisme memegang
pe ranan penting dalam diseminasi informasi kepada pub-
lik.Sementara,informasimerupakansalahsatuatmosfer penting agar benih-benih
demokrasi yang hadir antara lain dalam keseteraan dan keterbukaan akses
menyampaikan gagasan, dapat tumbuh subur. Kerja-kerja jurnalistik sangat
dipengaruhi oleh lingkungan medium itu, yang menyangkut beragam faktor seperti
sosial, politik, ekonomi, regulasi, dan teknologi di dalamnya. Maka peradaban
kita hari ini berada pada masa transisi ketika Internet hadir dan mengoyak
beragam tatanan kehidupan masyarakat, termasuk media, baik secara jurnalistik
maupun bisnis.
Kita tiba-tiba dihadapkan pada
pertumbuhan pengguna Internet dan perkembangan konten yang demikian masif.
Euforia kebebasan berekspresi di Internet dihadapkan pada ketegangan antara hak
asasi mengemukakan pendapat di satu pihak dan faktor keamanan serta kriminalisasi
tuduhan pencemaran nama baik di pihak lain. Industri media sontak juga
dihadapkan pada masalah transformasi digital. Pertumbuhan pengguna Internet
berimplikasi pada penurunan pembaca media cetak dan bergesernya aras bisnis ke
dunia maya. Persoalan juga semakin kompleks ketika Internet membuka beragam
kemungkinan konvergensi layanan informasi. Tentu saja ini menggembirakan karena
publik mendapat kesempatan untuk mendapatkan beragam informasi secara lebih
luas, beragam, dan murah. Namun, bagi media, perubahan ini menjadi tidak
sederhana ketika Internet kemudian juga mereduksi kualitas konten dan
menggoncang aspek bisnis industri.
Di seluruh dunia, Internet
menimbulkan kegamangan bagi media. Peran “watchdog” tak lagi dimonopoli
sebab Internet juga membuka ruang bagi partisipasi publik untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya, bahkan mengontrol media. Internet juga telah ‘memaksa’ media
tak lagi hanya menyajikan informasi satu arah, juga menye- diakan beragam
layanan interaktif yang memungkinkan publik mengekspresikan pendapat mereka.
Laman-laman itu hadir dalam bentuk kolom-kolom komentar di bawah berita, forum,
juga blog. Kini Internet tak terbantahkan perannya dalam menguatkan demokrasi. Bagaimana
Internet dan media daring (online) dapat menguatkan demokrasi? Untuk menjawab
pertanyaan itu, baik kalo kita melongok sebentar gagasan Jurgen Habermas
mengenai ruang publik (public sphere). Pilihan atas sistem demokrasi
mensyaratkan terjaminnya kebebasan berbicara, kebebasan berekspresi, dan
kebebasan pers. Menurut Habermas, sebuah negara disebut demokratis jika ia
menyediakan sebuah ruang publik yang “netral” bagi setiap warga negara untuk menyampaikan
pendapatnya, gagasannya, bahkan meng- kritik kekuasaan (Habermas, 2000). Ia
mengidentifi- kasi, aktor-faktor penting yang mendorong kebangkitan revolusi
demokratis abad 18 dan 19 adalah munculnya penghargaan terhadap ruang publik
bagi wacana yang berkembang di masyarakat.
Ruang publik adalah sebuah forum atau arena
yang menjadi penengah antara negara dan masyarakat. Di dalam arena itu setiap
warga negara dapat menyampaikan gagasannya secara terbuka bahkan mengkritik
ketidakadilan yang dijalankan pemegang kekuasaan. Ruang publik itu bersifat
independen terhadap pemerintahan dan kekuatan ekonomi dan didedikasikan pada
diskursus rasional yang bersifat terbuka dan dapat diakses setiap warga negara
demi terbangunnya sebuah opini publik yang sehat.
Sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi
Manusia, semua orang memiliki hak untuk bebas berekspresi. Masyarakat yang
sehat adalah masyarakat yang bisa membedakan mana gagasan yang baik dan tidak
baik. Kedewasaan masyarakat yang sehat atas penggunaan ruang publik akan
berkembang jika negara memberi ruang yang cukup bagi setiap warga negara untuk
mengaktualisasikan gagasan, bukan dengan membatasinya. Namun,dari kebebasan itu
hendaknya kita memanfaatkan secara baik dan menggunakannya secara bijak agar
apa yang kita ekspresikan melalui internet khususnya media social tidak
menimbulkan perkara yang bisa menimbulkan bagi diri sendiri, orang lain, maupun
merusak tatanan masyarakat dalam berdemokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar